Senin, 16 Juli 2012

MWATHIRIKA di mata Flyingfairy..


  1. The power of love…

    Terdengar klise dan terkadang sukar dipercaya, tapi saya termasuk tipe orang yang percaya bahwa meskipun cinta merupakan sesuatu yang abstrak wujudnya, namun cinta memiliki kekuatan yang besar dan tidak disangka-sangka.
    Bagi saya, jika di  hari Jumat dan Sabtu tanggal 15-16 Juni 2012, kelompok Papermoon Puppet dari Yogyakarta akhirnya bisa pentas di kota Bandung tercinta, itupun terjadi berkat cinta. Cinta para pengkarya Papermoon terhadap apa yang mereka kerjakan dan realisasikan, cinta para penggemar dan penonton yang ingin menyaksikan sebuah dunia yang indah luar biasa, cinta para petinggi yang berkepentingan akan sebuah pertunjukan yang berkualitas, dan cinta-cinta lainnya yang mengambang dinamis di udara yang kita hirup sehari-hari.
    Yah, itulah sekilas tentang cinta..dan memang karena alasan cinta itu pulalah yang membawa saya datang ke gedung IFI di Jumat malam kemarin untuk menyaksikan kelompok puppet yang paling saya cintai bermain di kota tercinta yang saya tinggali. Tiket sudah saya kantongi dengan aman semenjak kurang lebih dua minggu sebelumnya, setelah ditemani sang pria tercinta yang menyempatkan diri membonceng saya dengan motornya ke Tobucil, tempat penjualan tiket Papermoon.
    Saya pergi bersama Chike (sesama penggemar Papermoon semenjak sama-sama bertemu pertama kali di Tembi, Yogya), mamanya Chike, dan Yesi, temannya Chike. Berbekal semangat tinggi, kami pun sampai ketika jam masih menunjukan angka 6.30. Datang lebih awal tapi tak menyesal, itulah yang kami rasakan semalam. Setelah menukar tiket di meja panjang, kami jalan-jalan, duduk, ngobrol, melihat-lihat souvenir, ngintip-ngintip ke ruangan kaca tempat para kru Papermoon sedang makan malam. Kami juga bertemu dengan Mbak Caroline dan Claudine, duo guru dari Semi Palar yang kami kenal ketika sama-sama mengikuti workshop bulan Maret lalu.
    Menunggu sekitar satu jam tidak terasa membosankan. Sekitar 15 menit sebelum pukul 7.30, kami sudah nongkrong cantik di depan pintu auditorium. Rasanya tidak sabar menunggu pintu dibuka. Tak lama kemudian kami diijinkan masuk. Para penonton pun masuk dengan semangat tinggi, yang lucu meskipun barisan kami acak-acakan dan semi rebut-rebutan namun adegan masuk ke ruangan auditorium itu berjalan dengan tertib dan damai. Ah…mungkin hati setiap orang saat itu sedang dipenuhi cinta yang menggebu-gebu…hehehe….
    Kami pun memilih tempat duduk secara bebas. Eh..ternyata kami diijinkan untuk duduk santai lesehan di bagian bawah, depan panggung. Tentu saja kesempatan ini kami gunakan dengan baik untuk memilih tempat duduk sedepan dan sedekat mungkin dengan panggung. Saat itu juga kami bertemu dengan Mbak Dan, teman lain sesama peserta workshop. 
    Tidak lama, Mbak Ria muncul di panggung memberikan sambutan singkat dan santai. Kemudian lampu panggung meredup dan mulailah kami semua memasuki dunia Mwathirika.
    Mwathirika yang kami temui 2 tahun lalu adalah Mwathirika yang bercerita melalui properti yang dipamerkannya. 2 tahun lalu, saya menangkap kesan bahwa Mwathirika adalah sebuah cerita mengenai sejarah yang hilang, yang tidak terungkapkan secara besar-besaran yang diperlihatkan dalam kisah yang menarik dan tokoh yang mengagumkan. 
    Namun malam kemarin, menyaksikan secara langsung selama 55 menit sebuah lakon berjudul Mwathirika, saya menangkap banyak kesan lain di dalamnya. Mwathirika bagi saya malam kemarin bukan lagi hanya sebuah cerita mengenai sejarah yang hilang. Mwathirika malam kemarin sanggup membawa saya ke dalam sebuah dunia yang betul-betul nyata, sebuah kisah yang tidak semua orang tahu, sebuah kenyataan yang dianggap kecil dan mungkin dilupakan oleh banyak orang namun betul terjadi, sebuah cinta yang mengalami suatu masa namun terlupa karena kita seringkali lebih fokus pada apa yang diekspos besar-besaran melalui mata dan telinga kita. 
    Saya tidak ingin menjadi spoiler dalam post ini..jadi saya tidak akan bertutur mengenai jalan cerita dalam Mwathirika. Namun yang pasti menonton Mwathirika membuat saya terhanyut ke dalam suatu dunia, turut bergembira dan bersukaria lepas ala anak kecil bersama Tupu dan Moyo, takut ketika para tentara berparas burung menghampiri, dan sedih ketika Baba tak lagi ada.
    Para pemain dari Papermoon pun membuat saya salut dan jatuh cinta. Mereka begitu menyatu dengan para boneka ketika menuturkan kisah Mwathirika ini. Mereka bukan hanya penggerak boneka yang kaku, namun mereka dan boneka adalah kesatuan emosi yang membuat setiap orang yang menyaksikannya mudah berempati mengenai apa yang terjadi di hadapan kita dan apa yang para tokoh rasakan dalam cerita ini. Ekspresi para pemain dari Papermoon, suara-suara ketika mereka saling memanggil nama, tertawa kesenangan, meniup peluit dengan lirih, bergerak dalam berkisah, kesemuanya itu menyatu menjadikan sebuah pertunjukan dengan alur mengalir yang begitu menghanyutkan bagi setiap orang yang menontonnya. 
    Maka seperti cinta sejati yang akan terus berkembang seiring berjalannya waktu, begitu pulalah cinta saya terhadap genk Papermoon ini semakin berkembang. Mwathirika telah mengisahkan sebuah dunia yang pedih namun tidak terlepas dari cinta, dan pertunjukan dari Papermoon ini juga telah mempertunjukan sebuah cinta yang kuat antara para pemain dan bonekanya. Saya sebagai penonton yang menjadi saksi cinta ini pun turut larut dalam rasa cinta yang hadir begitu manis di depan mata.
    Sukses terus untuk Papermoon yang akan pentas lagi malam ini, akan bertandang di Amerika bulan-bulan depan, dan untuk setiap project yang akan terus ada di masa depan. Amin ! 
    Terima kasih Papermoon, untuk sebuah cinta yang begitu indah. Teruslah berkarya yang semakin dan semakin baik lagi (amin) 
    ps : Terima kasih juga untuk sepasang manusia yang (pastinya) dipenuhi cinta satu sama lain —Mas Iwan Effendi n Mbak Ria— kehangatan dan senyuman kalian kepada para penonton setiap pentas, latihan, dan workshop selalu menghangati hati kami. Viva! Viva! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar