Senin, 16 Juli 2012

MWATHIRIKA untuk Tobucil ..


Dicekam Sepi Mwathirika


Di sebuah desa, atau mungkin pinggiran kota di Indonesia, ketenangan dan keceriaan berubah menjadi suram. Peristiwa 1965 yang begitu berlumuran darah adalah biang penyebab dari kesemuanya. 

Adalah Moyo dan Tupu, dua kakak beradik yang hidup berbahagia dengan Baba, seorang ayah yang menyenangkan. Semua kemudian berubah. Para tertuduh yang sebagian besar tak tahu ujung pangkal bermulanya api ditangkapi. Dijadikan tumbal untuk berdirinya penguasa baru. Di sisi lain, masyarakat yang beruntung tak menjadi tertuduh kemudian seolah menjelma pula menjadi kawanan serigala yang siap membabat habis para tertuduh, meski mereka hidup bersebelahan dan para tertuduh tersebut. Kebahagiaan, kerukunan, keterbagian di antara sesama luluh lantak. Sebuah dekade gelap dalam sejarah negara yang konon menurut cerita-cerita dongeng adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi.

Simbolisasi keluluh-lantakan itu terlihat dari bagaimana persahabatan antara kakak beradik Moyo Tupu dan Lacuna, sang tetangga, tak lagi bisa berlanjut. Kelompok yang dianggap merah, harus ditangkap. Tak ada yang berani lagi berdekatan. Untuk melanjutkan hidup, memusuhi para tertuduh adalah kewajiban mutlak yang tak perlu dipertanyakan. Simbolisasi itu pun ditampilkannya pula dalam benda-benda sekitar para tokoh. Peluit yang selalu ditiup oleh Moyo dan Tupu sebagai tanda kebersatuan mereka kemudian justru menjadi salah satu penyebab yang menyebabkan keduanya terpisah.


Merinding ditambah rasa yang menyentak-nyentak di jantung menjadi karib yang tak mau pergi ketika sepasang mata saya terpekur di pojok IFI Bandung menyaksikan teater boneka bertajuk Mwathirika garapan Papermoon tersebut. Sebagai sebuah isu, peristiwa 1965, meski telah puluhan tahun berlalu, memang selalu seksi bagi siapapun. Menilik apa yang disajikan lakon Mwathirika,  tak ada cerita baru yang sebenarnya hendak disampaikan. Penderitaan-penderitaan yang digambarkannya, kekalutan dengan suasana mencekam, kebingungan, doktrinitas penguasa, semuanya adalah kisah klasik,  namun ia menjadi efektif sebagai obat anti lupa bagi bangsa yang konon pelupa ini.  



Hal yang paling menarik bagi saya justru adalah tokoh-tokoh prajurit yang bertugas menangkap “pemberontak”. Ditampilkan dengan menggunakan topeng burung, ketegasan sekaligus kesan manusia berdarah dingin ditampilkan dengan sempurna. Bagi saya, para prajurit ini kemudian mewakili dua sisi. Pertama, ia sebagai penguasa, dan kedua, ia sebagai sang prajurit itu sendiri. Alat penguasa untuk menancapkan paham barunya. Entah saya yang terlalu melankolis, atau mungkin memang catatan sejarah kurang berpihak bagi para rakyat yang kemudian ditakdirkan untuk memakai seragam ketika peristiwa 1965 terjadi. Menjadi sang prajurit. Kegamangan itu, meski tak ditampilkan oleh Papermoon, namun kental terasa, utamanya ketika topeng-topeng menjadi muka baru para prajurit. Tak banyak yang tahu tentang apa yang ada dibalik topeng, bahkan sampai saat ini. Semuanya lalu terbungkus dalam Mwathirika. Tiap-tiap pihak adalah generasi bingung. Entah tertuduh, sang prajurit, atau sang beruntung. Generasi yang diciptakan untuk dijejali penafsiran baru. Generasi yang memang muncul untuk menjadi sebuah bagian dari revolusi anti klimaks.  
Foto : Agus Bebeng 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar